Hi!

Shei
4 min readMar 11, 2024

--

Aku bukan orang yang sering pacaran — kalau aja cinta-cintaan pas SD diitung, aku baru pacaran sekali wkwkwkkw. Konyolnya lagi, we ended up for nothing — maybe because I didn’t used to what he did, yang aslinya itu tuh hal yang dilakuin orang orang yang pacaran pada umumnya, atau entah karena apa.

Dari sana, aku nggak punya history pacaran lagi, a hopeless romantic u can say. Kayak aku cuman bisa liatin temen temen di sekelilingku pada punya pacar, ditembak sama salah satu temen kelasku, dikasih kejutan ulang tahun sama pacarnya, etc. Selain mengamati temen temenku yang mulai pada punya pacar, aku kayaknya terlalu sering baca atau nonton cerita genre romance yang nggak terlalu masuk akal atau bisa terjadi di dunia nyata, kayak couples yang bisa jadian lewat tubrukan lah, ketemu di satu event, atau karena nggak sengaja confess di first account — yang mana kemudian hubungan yang bermula dari hal hal sekecil itu berjalan mulus, awet buat bertahun-tahun.

Aku kayaknya terlalu sering lihat bagian-bagian bahagianya aja, sampai lupa kalau penulis naskahnya nggak terlalu banyak menyorot opini sosial — orang-orang di sekitar mereka. Apakah opini orang lain penting buatku ketika aku punya hubungan sama seseorang? Walaupun jawaban konseptualnya nggak, tapi menurutku iya. Sebagai orang yang terbiasa menganggap komenan atau kalimat-kalimat orang lain — baik kritik yang membangun atau yang menjatuhkan sebagai salah satu bentuk kepedulian kayaknya ada yang kurang kalo aku nggak mendengarkan opini sosial yang orang-orang lontarin buatku.

Atau bahkan aku menerka duluan, kira-kira kalau aku begini, respon masyarakat bakal kayak gimana ya?

Daaaan sekarang waktu aku mendeklarasikan (dalam hati) kalau aku naksir sama doi ini, aku bahkan udah bisa menerka duluan hal-hal yang entah itu bakal kejadian atau enggak. Dan itu jadi salah satu alesan kenapa aku kayaknya nggak bisa maju duluan lagi buat make first move — buat cari tahu apakah aku bisa make this thing works atau nggak sama sekali. Aku udah takut duluan sama sesuatu yang bahkan bisa aja nggak akan kejadian — pessimist.

Backstory

Cerita di balik kenapa aku nggak pernah pacaran waktu umur belasan adalah:

  1. Aku ngerasa mukaku nggak masuk standar orang orang yang punya pacar pada saat itu
  2. Aku nggak terlalu menonjolkan diri waktu SMP
  3. I can beat and bear with my loneliness, selama punya distraksi
  4. Sempet punya trust issue sama cowok-cowok soalnya dulu waktu Sekolah Menengah pernah geger issue kalo tiba tiba dideketin cowok tuh mereka sebenernya lagi dijadiin objek tod an.

Nah gitu deh, kombinasiin aja semuanya, karena aku merasa nggak worth buat dideketin ato dicrushin sama seseorang (standart worth nya itu selevel sama temen temenku yang pada punya pacar), makanya tiap ada cowo yang deketin aku mikirnya cuman 2: ‘’ah pasti lagi tod an’’, sama ‘’nie orang tiba-tiba deketin pasti penasaran doang.’’

Aku punya gambaran sendiri kok tentang nikah, dan berkeluarga. Cuman ya itu tadi, aku suka kepikiran sama hal hal yang nggak perlu dipikirin sebenernya. Kayak aku bakal nikahin anak laki-laki yang punya ibu gitu, kalau tiba tiba ibunya nggak suka sama aku, aku harus gimana? Kalau keluarganya nggak bisa sreg sama aku, aku harus lakuin apa? Ditambah lagi sama marriage life yang menurutku udah toxic yang jadi tontonan aku sehari-hari.

Semoga framing aku tentang pernikahan masih sama ya. Kalau ditanya jadi pudar apa enggak, aku jadi lebih banyak takutnya sih. Aku jadi mikir, kalo aku nggak nikah nikah karena nggak nemu-nemu orang yang tepat (iyalah, kudu orang yang tepat. Aku nggak mau punya fase pernikahan di mana aku menyadari kalau aku sama partnerku ini nggak cocok dan nggak ada yang mau mengusahakan buat berubah — hidup selamanya sama orang yang nggak cocok doesn’t sit right with me) aku mau pelihara kucing aja di tempat tinggalku. Jadi kalau aku pulang, ada yang nyambut, miongku. Terus juga, mungkin aku bakal ikut banyak kegiatan sosial — cita citaku yang paling tinggi di bidang ini adalah jadi orangtua asuh buat anak anak yang kekurangan. Bukan adopsi, tapi kayak aku lebih provide biaya sekolah mereka. And of course jadi mbak-mbak kaya raya yang bisa keliling dunia. Aaamiin.

Mungkin polanya bakal selalu kayak gitu. Me being a hopeless romantic yang tiap hari manifesting punya pacar, tapi waktu ada yang betulan punya niat PDKT, I will be the one who push him away. Push and pull sebetulnya. Di satu sisi kayak aku senang karena ada yang suka sama aku dan mau tahu aku lebih jauh, tapi di sisi yang lain aku udah bisa nebak kalau dia pasti punya goals atau output yang harus muncul dari sesi pdkt ini. Dan yaa endingnya pasti goals dia nggak akan tercapai sama sekali — dan output yang dia harapkan nggak sesuai sama apa yang dia rencanain sebelumnya.

Mungkin polanya bakal terus berulang kayak gitu, sampai ada orang yang bisa yakinin aku dan bikin aku punya pandangan optimis sama sebuah hubungan.

iseng-iseng isi quiz, dapetnya malah kayak gini katanya

--

--

Shei
Shei

Written by Shei

0 Followers

NOTICE; CODE [•⩊•] Balada Penduduk Musiman || CODE [𓍯𓂃 ] Oneshot Fiksi || [✶] Bahasan Random

No responses yet